Senin, 30 Oktober 2017

Kontribusi Penting Masyarakat dalam Memberantas Korupsi


Korupsi merupakan permasalahan utama bangsa Indonesia saat ini yang memberikan dampak kerugian bagi negara akibat mengutamakan kepentingan pribadi dengan meninggalkan aspek kejujuran. Menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa korupsi diartikan setiap orang yang dengan sengaja dengan melawan hukum untuk melakukan perbuatan dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Selain itu, korupsi juga memiliki makna penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi (Anwar, 2006:10) dimana saat ini marak sekali terjadi pada kalangan pejabat-pejabat negara yang duduk sebagai perwakilan rakyat. Pada intinya, korupsi semakin merajalela dan terus memberikan dampak negatif bagi negara khususnya kesengsaraan masyarakat makin merajalela akibat hilangnya nilai kejujuran dan kemampuan mengemban amanah.

Pemberantasan korupsi masih merupakan tantangan serius bagi  pembangunan di Indonesia. Korupsi sangat menghambat efektivitas mobilisasi dan alokasi sumber daya pembangunan bagi pengentasan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur. Hal ini akan sangat menghambat pencapaian pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dan akan memunculkan beragam dampak buruk bagi masyarakat luas. Oleh karena itu korupsi dapat dikategorikan sebagai jenis kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Tantangan utama untuk melaksanakan pemberantasan korupsi adalah bagaimana mengefektifkan penegakan hukum. Hal ini memerlukan perbaikan kualitas dan integritas aparat penegak hukum dan menyempurnaan regulasi dan peraturan perundangan. Tantangan lain dalam pemberantasan korupsi adalah bagaimana mengoptimalkan upaya pencegahan tindak pidana korupsi dengan meningkatkan efektifitas reformasi birokrasi serta lebih meningkat-kan kepedulian dan keikutsertaan masyarakat luas melalui pendidi-kan antikorupsi bagi masyarakat luas. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi menjadi salah satu dari sembilan agenda prioritas yang disebut NAWA CITA dan dituangkan ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Korupsi merupakan salah satu tindak kejahatan yang sudah terjadi cukup lama dalam perjalanan bangsa Indonesia hingga saat ini. Hal ini sepertinya telah mendarah daging dan bahkan telah menjadi tradisi buruk bangsa Indonesia. Berbicara tradisi, ternyata sejalan dengan yang diutarakan sejarawan alumnus Universitas Indonesia, Hendaru Tri Hanggoro, dimana jejak korupsi di Indonesia juga dapat dilihat pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Saat itu, jumlah pajak desa yang harus dibayar sudah digelembungkan para pejabat lokal yang memungut pajak dari rakyat yang masih buta huruf. Kemudian praktik korupsi besar-besaran juga terjadi pada masa tanam paksa. Saat itu disebutkan, petani hanya bisa mendapat 20 persen hasil panennya dan diduga juga hanya 20 persen yang dibawa ke Negeri Induk (Kerajaan Belanda). Selebihnya 60 persen hasil bumi Nusantara diambil pejabat lokal dari desa hingga kabupaten. Kemudian pasca merdeka pun korupsi tetap merajalela hingga saat ini.

Melihat apa yang terjadi terhadap ulah oknum-oknum tak bertanggung jawab yang terus merugikan negara, banyak langkah yang coba diambil pemerintah dalam memberantas korupsi. Sejak Indonesia merdeka, Kejaksaan Agung sudah cukup disibukkan dengan perkara-perkara korupsi yang harus ditangani dengan seadil-adilnya. Lanjut pada era orde baru, banyak sekali peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Soeharto baik berupa UU, Keputusan Presiden (Keppres) maupun Instruksi Presiden (Inpres). Menurut sejarawan Universitas Paramadina, Henri F Isnaeni, menyebutkan bahwa keseluruhan upaya pada masa itu nampaknya tidak berjalan efektif dikarenakan lembaga-lembaga yang dibentuk tidak berwenang menindak dan juga tidak terjalinnya sinergi serta pembenahan lembaga permanen seperti Polri dan Kejaksaan Agung. Memasuki tahun 2000-an terbentuklah lembaga bernama Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang hingga saat ini tetap komitmen menjalankan tugas-tugasnya dan membantu pemerintah dalam mengentaskan masalah korupsi yang semakin merajalela di Indonesia. Namun sebelum lahirnya KPK, terlebih dahulu dibentuk lembaga dalam memberantas korupsi yaitu Tim Gabungan Antikorupsi dengan mengacu pada UU No. 31 Tahun 1999 untuk mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sulit ditangani Kejaksaan Agung.

Melihat realita yang ada, memang korupsi di Indonesia terbilang menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya, namun di mata dunia Indonesia tetap masuk dalam kategori korupsi tertinggi. Memang dengan adanya KPK mulai memberikan pencerahan bagi Indonesia terhadap pemberantasan korupsi. Dilansir dari Transparecy International, dalam lima tahun ke belakang Indonesia mengalami peningkatan dengan nilai yang terus naik dari tahun 2012 yang hanya mendapatkan poin 32 dan pada tahun 2016 Indonesia mampu mendapatakan poin 37 sehingga bertengger di posisi 90 bersama negara Kolombia, Liberia, Maroko dan Macedonia dari 176 Negara di dunia.

Sumber : https://www.transparency.org/news/feature/corruption_perceptions_index_2016
Gambar 1
Indeks Persepsi Korupsi Seluruh Negara di Dunia Tahun 2016


Peningkatan yang dialami Indonesia sejalan dengan kinerja KPK dalam melakukan penanganan tindak korupsi per 30 September 2017 dengan rincian penyelidikan 70 perkara, penyidikan 78 perkara, penuntutan 58 perkara, inkracht 48 perkara, dan eksekusi 49 perkara. Hasil survei tersebut dilakukan oleh Anti-Corruption Clearing House mengenai rekapitulasi tindak pidana korupsi, dimana setiap indikator yang ada mulai seimbang.

Sumber : https://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi
Gambar 2
Rekapitulasi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Tahun 2004-2017


Namun yang perlu dikhawatirkan juga bahwa masyarakat pesimis terhadap perbaikan tindakan korupsi di Indonesia. Argumentasi tersebut didasarkan oleh Survei Nasional Anti Korupsi Tahun 2017 yang dilaksanakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Polling Center. Heny Susilowati, peneliti Polling Center, menyatakan 87 persen masyarakat Indonesia pesimis terhadap perbaikan tindakan korupsi dalam satu tahun terakhir. Tahun ini, 55 persen masyarakat berpendapaat bahwa trend korupsi semakin meningkat dan 32 persen menyatakan tak ada perubahan dari tahun lalu, Hal ini terlepas dari kurang signifikannya perkembangan pemberantasa korupsi yang ada dan tiap tahunnya selalu terjadi korupsi yang berakibat kepada kerugian negara yang cukup besar serta berdampak pada masyarakat khususnya.

Melihat fenomena yang ada mengenai perkembangan kasus korupsi di Indonesia, kita sebagai masyarakat juga tidak boleh hanya diam. Kita harus mampu berkontribusi untuk memberantas korupsi yang semakin meresahkan dan merugikan negara. Peran serta masyarakat yang baik sangat penting mengingat bahwa KPK tidak memiliki perwakilan di daerah, maka cukup sulit untuk KPK dalam mengawasi tindak pidana korupsi di seluruh Indonesia. Dengan adanya partisipasi masyarakat di daerah, maka akan membantu KPK dalam menjalankan tugasnya untuk memberantas tindak pidana korupsi. Sebagai tindak lanjut dari amanat undang-undang untuk memenuhi hak masyarakat, KPK memiliki Direktorat Pengaduan Masyarakat yang menyediakan layanan pengaduan masyarakat. Data statistik laporan masyarakat yang masuk ke KPK menunjukkan angka yang bervariasi setiap tahunnya.
Tabel 1
Laporan Masyarakat yang Masuk ke KPK Tahun 2013-2016
No
Uraian
2013
2014
2015
2016
1
Laporan masuk
7.999
9.432
5.594
7.271
2
Telaah
6.819
1.514
824
1.581
3
Indikasi TKP
4.282
4.645
2.887
3.403
4
Indikasi non TKP
2.615
4.587
2.887
3.403
5
Layak ditindaklanjuti
5.437
1.189

1.093
6
Tidak layak ditindaklanjuti
1.386
328

445
Sumber : https://acch.kpk.go.id/id/ragam/opini/masyarakat-melawan-tindak-pidana-korupsi

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa dari tahun 2013 ke tahun 2014 terjadi peningkatan laporan masyarakat yang masuk dari 7.999 laporan menjadi 9.432. Namun, laporan yang masuk dalam proses telaah pada tahun 2014 hanya sejumlah 1.514 laporan dan jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan pada tahun 2013 yaitu  6.819. Banyaknya laporan pengaduan masyarakat yang masuk tidak menjamin kualitas laporan masyarakat. Karena, jika melihat jumlah laporan pengaduan masyarakat yang masuk setiap tahunnya, yang terindikasi sebagai tindak pidana korupsi hanya berkisar 30%-50%. Contohnya saja pada tahun 2016, jumlah laporan yang masuk hingga 7.271 laporan namun yang terindikasi sebagai tindak pidana korupsi hanya sejumlah 3.868. Selanjutnya, dari banyaknya  laporan yang masuk setiap tahunnya, tidak lebih dari 50% laporan yang layak untuk ditindaklanjuti dan titangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dari pengalaman direktorat pengaduan masyarakat, setidaknya ada beberapa faktor yang mendorong masyarakat antusias ataupun tidak dalam melakukan pengaduan.  Pertama, masyarakat ingin mengadukan bila persoalan korupsi itu merugikan kepentingan politik pribadi, kelompok ataupun organisasinya. Misalnya pada pemilihan kepala daerah, maka pengaduan kasus korupsi akan muncul. Motivasinya bisa terjadi karena untuk menjegal lawan politik atau sekedar untuk membuat “noda hitam” dalam citra lawan politik. Kemudian, masyarakat melaporkan kasus korupsi karena faktor bisnis. Disaat ada proyek pengerjaan tender pemerintah, sangat mungkin apabila ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Entah itu merasa dikalahkan, padahal sudah mengeluarkan biaya ataupun semata-mata agar jangan sampai pihak lain mengerjakan proyek tersebut. Persaingan bisnis semacam ini, sangat mungkin untuk mendorong pihak-pihak yang terancam kepentingan untuk membuat laporan diterima. Selanjutnya, ada juga beberapa masyarakat yang benar-benar memiliki niat tulus untuk mengoreksi kasus korupsi. Para bawahan yag merasa tertekan dengan tindak tanduk atasannya yang mendorong mereka untuk melapor ke KPK.

Pada intinya, masyarakat sudah mulai mampu dan mau melaporkan segala hal yang terkait dengan korupsi. Ini merupakan kemajuan yang cukup baik dan perlu ditingkatkan kembali agar korupsi hilang dari tradisi bangsa Indonesia. Terkait masalah pengamanan dari pelapor atau saksi, ada sebuah lembaga bernama LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) yang berfungsi menangani pemberian perlindungan dan bantuan kepada saksi dan/atau korban sesuai tugas dan kewenangan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, berkewajiban menyiapkan, menentukan, dan memberikan informasi yang bersangkutan dengan pelaksanaan tugas, kewenangan, maupun tanggung jawabnya kepada publik. Pada tahun 2016, LPSK tercatat telah memberikan perlindungan kepada 36 orang whistleblower pada tindak pidana korupsi, sedangkan untuk justice collaborator, LPSK memberikan perlindungan pada 11 orang. Harapannya LPSK tetap menjadi pelayan publik yang profesional, transparan, dan akuntabel terutama dalam mendukung pemberantasan korupsi. Itu semua terkait paritisipasi masyarakat dalam hal keberanian melaporkan case yang ada sehingga terjadi sinergi antara lembaga-lembaga yang berkomitmen melakukan pemberantasan korupsi.

Korupsi memang masih menjadi masalah utama yang menyebabkan kerugian negara cukup besar dan membuat pribadi bangsa Indonesia kehilangan sifat kejujurannya. Meskipun mengalami peningkatan pada tiap tahunnya, itu semua tidak cukup bila komitmen dari seluruh lapisan masyarakat untuk memberantas korupsi tidak ada. Seluruh lembaga yang menyangkut pemberantasan korupsi harus saling bersinergi agar tercipta suasana yang kondusif dan dapat bekerja secara efektif serta efisien. Selain itu, masyarakat juga tidak boleh diam tetapi harus mampu berkontribusi nyata untuk memerangi yang namanya korupsi. Bilamana pada akhirnya korupsi berhasil dilenyapkan di Indonesia, maka percayalah Indonesia akan menjadi negara yang kaya dan makmur serta sejahtera masyarakatnya. Ayo gerak bersama untuk memberantas korupsi, sebab diam bukanlah pilihan. Maka dari itu, KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI! BERANTAS KORUPSI ADALAH HARGA MATI! #DiamBukanPilihan #LPSKMelindungi 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar